FB Pro Syndrome: Algoritma yang Mengubah Manusia Jadi Konten

Avatar photo

Ada hal yang menarik sekaligus ironis dari dunia digital hari ini. Di saat sebagian orang berbicara soal AI, Keamanan digital, dan perkembangan teknologi di sudut lain internet kita justru dipenuhi oleh video-videonya “FB Pro”: ibu-ibu posting apapun keadaan keluarga, bapak-bapak yang membacakan berita ulang dari TikTok, anak muda yang menulis “#sorotanpublik #jangkauanluas #semuaorang #fyp”, dan kolom komentar yang dihiasi oleh ritual digital: “salam interaksi 🙏”, “hadir biar saling support”, “like balik ya, biar gajian bareng”.

Fenomena ini bukan cuma lucu atau memalukan. Ia adalah representasi paling jujur dari bagaimana algoritma berhasil mengubah manusia jadi konten itu sendiri.
Mereka tak lagi membuat konten, mereka menjadi konten tanpa sadar bekerja untuk sistem yang hanya memberi iming-iming: “nanti kamu bisa gajian dari FB Pro.”

Dunia FB Pro dan Mitos “Gajian dari Meta”

Facebook Professional Mode, atau sering disebut “FB Pro”, awalnya dirilis Meta sebagai fitur untuk creator monetization.
Secara teknis, ia membuka akses bagi pengguna untuk mengaktifkan mode profesional: bisa melihat insight, mendapatkan bonus reel, dan berpotensi menerima pembayaran jika memenuhi syarat tertentu.
Namun di lapangan, fitur ini berubah jadi semacam “mimpi kolektif ekonomi algoritmik”.
Setiap orang tiba-tiba percaya bahwa mengaktifkan FB Pro adalah tiket menuju penghasilan.

Padahal sistemnya tidak sesederhana itu.
Facebook hanya membayar untuk konten yang memenuhi syarat spesifik: jam tayang, jumlah interaksi, kelayakan hak cipta, dan kepatuhan kebijakan. Bahkan, sejak pertengahan 2024, program bonus Reels Play sudah dibatasi hanya untuk kreator terpilih.
Tapi narasi yang beredar di ruang publik Indonesia berbeda.
Yang menyebar justru rumor-rumor: “teman saya gajian 8 juta dari FB Pro”, “asal rajin posting bisa cair tiap bulan”, “yang penting aktif, nanti Meta lihat dan kasih bonus”.

Di titik ini, algoritma Meta berhasil membentuk ekosistem perilaku massal bukan dengan instruksi, tapi lewat ekspektasi.
Mereka tidak perlu membayar semua orang; cukup buat orang percaya bahwa mereka bisa dibayar.

Ritual Interaksi: “Jangkauan Luas”

Coba buka satu video FB Pro secara acak, kamu akan melihat pola yang sama di kolom komentarnya:

“Salam interaksi 🙏 biar jangkauan luas”
“Dukung konten saya juga ya kak #sorotanpublik”
“Yang aktif dapat gaji #semuaorang #fyp”

Fenomena ini adalah bentuk baru dari ritual engagement aktivitas sosial yang diotomatisasi oleh logika algoritma.
Jika dulu interaksi di media sosial adalah hasil komunikasi nyata, kini ia berubah jadi transaksi simbolik.
Like bukan bentuk apresiasi, tapi investasi untuk jangkauan.
Komentar bukan percakapan, tapi mantra agar dilihat algoritma.

Kita sedang melihat masyarakat digital yang tidak lagi berkomunikasi untuk saling memahami, tapi untuk saling memancing impresi.
Dan di tengah ritual itu, “konten” tidak lagi berarti sesuatu yang bernilai; yang penting adalah aktivitasnya.
Semakin sering upload, semakin sering komen, semakin sering menekan tombol share semua dianggap produktif, padahal yang benar-benar produktif hanyalah sistem di balik layar: Meta.

Oversharing dan Ilusi Publik: Semua Orang Pengen Jadi Sesuatu

Kebanyakan pengguna FB Pro tidak lagi tahu di mana batas antara ruang pribadi dan publik. Mereka membagikan semuanya: curhat rumah tangga, masalah anak, drama tempat kerja, sampai tragedi orang lain seperti kecelakaan, kesedihan, bahkan bencana alam semua dijadikan konten.
Yang penting, ada yang menonton. Yang penting, ada angka jangkauan naik.

Mereka percaya bahwa semakin sering upload, semakin cepat “gajian”.
Padahal yang tumbuh bukan pendapatan, melainkan hilangnya sensitivitas terhadap privasi dan empati.
Kesedihan orang lain jadi alat, bukan pelajaran.
Tragedi direkam, bukan ditolong.
Dan di tengah itu semua, algoritma hanya melihat: “konten trending.”

Inilah wajah baru oversharing economy di mana rasa iba dan etika dikalahkan oleh hasrat untuk eksis.
Mereka berpikir sedang membangun personal brand, padahal sedang menukar nilai kemanusiaan dengan clicks dan impressions.

Fenomena lain yang tumbuh di ekosistem FB Pro adalah munculnya akun-akun palsu dengan foto curian dari internet.
Mereka mengunggah gambar atau video yang seolah pribadi, diberi caption provokatif kadang sensual, kadang absurd semata-mata untuk memancing klik, komentar, dan interaksi cepat.
Kebanyakan akun ini tidak memiliki identitas nyata; semuanya hasil duplikasi visual.

Yang terjadi bukan hanya penipuan identitas, tapi juga eksploitasi visual berbasis algoritma.
Algoritma melihat interaksi tinggi, lalu mendorong konten serupa ke lebih banyak orang, menciptakan loop birahi digital yang tidak lagi bisa dibedakan dari konten asli.
Dan di balik itu, ada ribuan pengguna sungguhan yang terjebak berinteraksi dengan persona palsu memperlihatkan betapa jauh manusia bisa dimanipulasi ketika dopamine bertemu desain sistem.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa oversharing bukan hanya terjadi karena kurangnya kesadaran, tapi juga karena adanya pihak yang sengaja mengeksploitasi hasrat dan kebodohan algoritmik untuk keuntungan pribadi.

FOMO: Ketika Ketakutan Jadi Mesin Engagement

FOMO (Fear of Missing Out) adalah bahan bakar utama dari fenomena ini.
Ketika seseorang di lingkungan digitalnya mengaku “sudah cair dari FB Pro”, ratusan orang lain mulai meniru tanpa pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Ada yang mulai posting setiap jam, ada yang mengedit video reupload agar terlihat “fresh”, ada yang membuat akun kedua hanya untuk saling komen antar diri sendiri.

FOMO menciptakan ilusi produktivitas:
merasa sibuk, merasa kreatif, merasa sedang bekerja padahal hanya berputar dalam loop algoritmik yang tak menghasilkan apa-apa.

Yang lebih ironis, sebagian dari mereka bahkan membeli followers dan engagement palsu, percaya bahwa angka itu akan membuka pintu gaji Meta.
Padahal di sisi lain, algoritma justru menandai mereka sebagai spammer.
Tapi rasa takut tertinggal selalu lebih kuat dari logika.

Desain Eksploitasi: Ketika Platform Jadi Mesin Perilaku

Mari kita lihat dari kacamata sistem.
Facebook (atau Meta) tak pernah menyuruh siapapun untuk oversharing, komen “salam interaksi”, atau pasang tagar template.
Namun mereka mendesain sistem yang mendorong perilaku itu terjadi secara alami.
Inilah bentuk modern dari behavioral engineering.

  • Reward Delay System: ketika pengguna melihat notifikasi insight naik, dopamin aktif, mereka terus posting.
  • Unclear Monetization Criteria: Meta tidak menjelaskan secara transparan siapa yang lolos monetisasi, menciptakan rasa penasaran massal.
  • Social Proof Loop: ketika satu orang mengaku “cair”, algoritma amplifikasi narasinya, menimbulkan efek domino.
  • Gamification of Existence: setiap like, komentar, dan view jadi angka prestasi. Semakin besar angka, semakin besar rasa eksistensi.

Pada dasarnya, Meta tidak lagi hanya memonetisasi konten mereka memonetisasi perilaku.
Setiap interaksi, sekecil apapun, adalah input ke model machine learning mereka.
Dan yang paling efektif bukanlah konten berkualitas, tapi konten yang membentuk kebiasaan.

Viral Template dan Konten yang Tak Lagi Punya Makna

Fenomena menarik lain adalah munculnya template universal: caption yang sama, tagar yang sama, bahkan gaya bicara yang sama.
Misalnya:

“Dukung terus kreator lokal 🙏”
“Semoga konten ini bermanfaat walau sederhana”
“Bantu jangkauan, biar semua orang bisa lihat 💪”

Atau bentuk video yang semua orang pernah lihat:

  • Potongan berita lama dengan suara AI yang dibacakan ulang.
  • Reupload TikTok tanpa watermark.
  • Video quotes motivasi dengan lagu sedih dan tulisan “#sorotanpublik”.
  • Bahkan video keluarga atau anak kecil yang tidak relevan tapi diklaim sebagai “konten positif”.

Semua ini memperlihatkan satu hal: homogenisasi perilaku digital.
Kreativitas bukan lagi nilai; yang penting algoritma mengenali polanya.
Orang-orang ini tidak membuat sesuatu yang baru, tapi meniru format yang dianggap “berhasil”.
Sama seperti bot, tapi versi manusia.

Studi Kasus: “Salam Interaksi” Komunitas Simulasi dan Ritme Algoritma

Untuk memahami seberapa dalam fenomena “FB Pro Syndrome” ini bekerja, kita cukup menelusuri satu kelompok dan satu tagar yang kini jadi pusat pergerakan:
grup Facebook “Salam Interaksi FB PRO Indonesia” dan tagar #salaminteraksi.

Sekilas terlihat seperti komunitas kreator yang saling mendukung. Deskripsinya ramah, penuh semangat berbagi, dan dipenuhi ribuan anggota dari berbagai latar belakang ibu rumah tangga, pekerja kantoran, remaja, bahkan pensiunan. Tapi ketika diamati lebih dalam, grup ini bukan sekadar tempat berbagi konten, melainkan mesin pengulangan pola algoritmik.

Grup: Ekosistem Ritual Digital

Dalam grup Salam Interaksi FB PRO Indonesia (yang berisi lebih dari satu juta anggota), hampir setiap postingan menampilkan pola yang sama:

“Salam interaksi 🙏 biar jangkauan luas.”
“Support sesama kreator #fyp #semuaorang #fbpro.”
“Biar konten kita sama-sama naik ya teman-teman 💪.”

Setiap unggahan seolah mengikuti template tak tertulis.
Caption dan komentar berulang, tagar homogen, dan engagement yang berlangsung seperti antrean mesin. Tak ada diskusi, tak ada refleksi, hanya interaksi yang terus digerakkan oleh satu tujuan: memancing algoritma.

Beberapa posting bahkan menampilkan bukti “penghasilan” tangkapan layar dengan angka bonus FB Pro yang kemudian jadi pemicu FOMO massal. Dari satu unggahan, muncul ratusan komentar “ikut aktif biar gajian juga”, “semangat, biar kayak ini”, “kapan cair juga ya Allah 😭”.
Yang menarik, tidak ada verifikasi atas bukti itu. Tidak penting apakah itu nyata; yang penting adalah efek psikologisnya.

Di titik ini, grup seperti ini berfungsi bukan sebagai komunitas kreator, tapi sebagai ruang distribusi ilusi.
Ia menormalisasi ide bahwa semua orang bisa sukses dari algoritma asalkan aktif, rajin posting, dan patuh pada ritual “salam interaksi”.

Secara sosioteknis, ini adalah bentuk gamification of engagement: interaksi diperlakukan seperti permainan, di mana hadiah terbesar bukan uang, tapi perasaan sedang menuju gajian.

Dari Pekerja ke Produk: Siapa yang Sebenarnya Bekerja di Sini?

Kita sering berpikir bahwa pengguna FB Pro adalah “pekerja digital” mereka berusaha, membuat konten, mencari penghasilan.
Namun secara sosioteknis, mereka lebih mirip produk ketimbang pekerja.
Meta tidak membayar mereka untuk bekerja; mereka justru memberi data, engagement, dan waktu semua itu dikonversi menjadi nilai ekonomi di sisi lain dunia.

Kita menyebutnya: Invisible Labor of Algorithms.
Kerja tanpa sadar. Kerja yang tak diakui.
Kerja yang tidak pernah dibayar karena upahnya sudah dikonversi menjadi dopamine dan ilusi eksistensi.

Di sinilah letak sindrom FB Pro: manusia mengejar uang dari sistem yang justru memanen waktu dan perhatian mereka.
Itu bukan kerja produktif itu kerja untuk memelihara algoritma.

Ilusi Komunitas dan Solidaritas Palsu

Di permukaan, komunitas FB Pro terlihat “hangat”. Semua saling komen, saling dukung, saling share.
Tapi jika diperhatikan, interaksi itu tidak punya kedalaman.
Tidak ada komunikasi nyata, hanya pertukaran simbolik agar algoritma tetap aktif.

Inilah yang disebut oleh para peneliti digital sebagai “simulacra of community” tiruan kebersamaan yang tidak punya substansi.
Mereka bukan berkomunitas, mereka mensimulasikan komunitas demi reward algoritmik.
Dan ketika salah satu berhenti aktif, semuanya ikut menghilang, karena tidak ada hubungan yang sungguh-sungguh di sana.

Yang tersisa hanyalah data engagement dan riwayat interaksi, cukup untuk memberi sinyal ke sistem bahwa “komunitas ini hidup”.
Padahal isinya cuma bot, manusia yang bertingkah seperti bot, dan algoritma yang memanen semuanya.

Eksploitasi yang Disamarkan sebagai Kesempatan

Kita perlu jujur: Meta menciptakan sistem ini dengan sangat cerdas.
Mereka tidak perlu mengeksploitasi secara langsung; cukup menciptakan ekosistem yang memberi harapan.
Harapan akan popularitas, penghasilan, dan eksistensi sosial.
Sementara di balik layar, semua perilaku itu menghasilkan miliaran titik data untuk optimasi iklan.

Dengan kata lain, eksploitasi digital hari ini tidak lagi berbentuk perintah, tapi desain.
Bukan “kerjakan ini”, tapi “buat kamu ingin mengerjakan ini”.
FB Pro hanya salah satu bentuknya TikTok, YouTube Shorts, dan Reels semuanya bekerja dengan logika yang sama.
Bedanya, FB Pro menargetkan segmen masyarakat yang paling mudah dimobilisasi oleh FOMO: orang-orang yang baru mengenal dunia digital, yang masih percaya bahwa setiap platform punya uang yang bisa diambil asal rajin posting.

Kontras Dunia Profesional vs Dunia “FB Pro”

Sementara para profesional digital bicara soal digital literacy, ethical content, brand identity, di lapisan bawah ekosistem justru sedang tumbuh pasar baru: pasar algoritmik yang dikelola oleh ketidaktahuan kolektif.
Mereka yang tidak memahami sistem menjadi tenaga gratis bagi sistem.

Fenomena ini tidak jauh berbeda dari click farm, hanya saja lebih tersamarkan karena para “pekerjanya” bahkan tidak sadar sedang bekerja.
Mereka percaya sedang membangun personal brand, padahal sedang membangun dataset.

Refleksi: Dari “Menjadi Kreator” ke “Dikreasi oleh Sistem”

FB Pro adalah simbol dari era baru media sosial era di mana manusia bukan lagi pengguna, melainkan unit perilaku yang dimonetisasi.
Setiap tindakan kita scroll, like, share, hingga komentar “salam interaksi” adalah energi yang memberi makan sistem yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Yang menakutkan bukanlah algoritma itu sendiri,
melainkan bagaimana ia berhasil mengubah motivasi manusia menjadi angka engagement.
Kita tak sadar kapan berhenti menjadi pengguna, dan mulai menjadi produk.
Kita menciptakan konten, tapi di saat yang sama, kitalah konten itu.

Dari sisi sosioteknis, ini adalah bentuk dehumanisasi digital yang paling halus manusia kehilangan kendali atas makna tindakannya karena semua diukur oleh metrik yang tak terlihat.
Segala hal diubah menjadi performa, bukan pesan; menjadi data, bukan cerita.

Namun, kata “Pro” dalam Facebook Pro seharusnya menjadi titik balik, bukan jebakan.
“Pro” berarti Profesional: seseorang yang sadar akan isi, konteks, dan nilai dari apa yang ia bagi.
Profesional bukan berarti rajin posting, tapi tahu kapan tidak perlu posting.
Bukan yang paling ramai, tapi yang paling bermakna.

FB Pro sebenarnya bisa menjadi alat yang luar biasa bila dipakai dengan kesadaran.
Konsistensi dan kualitas akan membawamu jauh lebih tinggi daripada sekadar ritual tagar.
Dan ketika kamu bisa membuat konten yang punya isi, emosi, dan pesan
kamu tidak perlu menunggu bintang atau saweran: brand dan audienslah yang akan datang mencari kamu.

Penutup: Di Antara Sorotan Publik dan Algoritma

Fenomena FB Pro bukan sekadar tren media sosial ia adalah cermin masyarakat digital kita hari ini:

  • yang haus validasi tapi miskin literasi,
  • yang ingin produktif tapi tak tahu untuk siapa,
  • yang ingin eksis tapi kehilangan makna eksistensinya.

Mereka percaya di balik tagar #jangkauanluas ada peluang ekonomi,
padahal yang luas hanyalah ruang kosong antara ekspektasi dan realitas.
Mereka pikir sedang mengakali sistem,
padahal justru sedang menjadi bahan bakar bagi sistem yang lebih besar dari diri mereka.

FB Pro bukan tentang siapa yang bisa gajian
ini tentang bagaimana algoritma berhasil menanamkan logika produksi tanpa arah,
membuat manusia terus menciptakan, tanpa tahu lagi untuk apa dan untuk siapa.

Dan mungkin hanya satu kalimat yang bisa menutup semuanya:

“Di era algoritma, manusia bukan lagi pencipta konten, kita hanyalah konten yang terus memperbarui dirinya sendiri.”

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

SocEng Lab: Membangun Cognitive Defense Melalui Simulasi Social Engineering

Related Posts