Dunia cyber security hari ini sedang berada di fase yang aneh.
Satu sisi semakin profesional, ada mereka yang berperan sebagai quality control, yang menjaga standar etika, validitas teknis, dan proses disclosure yang benar.
Sisi lain muncul gelombang baru: generasi yang baru menyentuh permukaan dunia keamanan, tapi cepat sekali naik ke panggung publik : membuka kelas, menjual course, dan mengajarkan hal-hal yang bahkan sebagian masih mereka pelajari.
Keduanya seolah berjalan di jalur yang sama, tapi dengan arah yang berbeda.
Dan benturannya sudah tidak bisa dihindari.
Fenomena “Hacker NASA” dan Ilusi Pencapaian
Kita semua pernah melihat headline seperti ini:
“Anak Indonesia Berhasil Hack Website NASA”
Sekilas terdengar luar biasa, patriotik bahkan.
Tapi kalau ditelusuri, sering kali yang ditemukan hanyalah low-severity bug di subdomain non-kritis yang bahkan tidak punya relasi langsung dengan sistem utama NASA.
Sebuah temuan yang secara teknis sah, tapi secara konteks tidak se-spektakuler narasinya.
Masalahnya, media tidak peduli pada detail.
Yang penting “klik”.
Dan publik pun tak peduli pada severity, core system, atau scope validasi; yang mereka lihat hanyalah satu hal: “hacker Indonesia tembus NASA.”
Efek domino pun mulai terasa.
Si peneliti (yang sebenarnya baru belajar) mendadak viral, naik ke panggung, dan membuka kelas bug bounty berlabel “Hack NASA”.
Narasinya menjual, audiensnya melimpah.
Namun dari sudut pandang kalangan profesional, inilah awal dari distorsi besar dalam ekosistem keamanan itu sendiri.
Ketika Ilmu Menjadi Komoditas
Masalah inti bukan pada orang yang ingin berbagi ilmu.
Tidak ada yang salah dengan mengajar, yang salah adalah ketika ilmu berubah jadi komoditas tanpa akurasi dan tanggung jawab.
Banyak kelas bug bounty atau workshop keamanan yang muncul bukan karena kebutuhan teknis, tapi karena momen viral yang ingin dikapitalisasi.
Dan di sinilah perbedaan paling fundamental antara sharing dan selling.
“Mengajar itu tanggung jawab, bukan sekadar ekspresi.”
Ketika seseorang menjual kursus dengan klaim “pernah hack NASA”, padahal konteksnya hanyalah bug kecil di sandbox environment, maka yang dijual bukan ilmunya tapi ilusi reputasi.
Dan dari sinilah muncul resistensi dari para profesional: mereka yang hidup dari metodologi, bukan narasi.
Profesional sebagai Quality Gatekeeper
Di sisi lain, para profesional di dunia cyber security tidak sepenuhnya tanpa salah.
Mereka terbiasa menjaga mutu, menilai berdasarkan proses, bukan hasil instan.
Namun sering kali mereka terlalu elitis untuk turun langsung membimbing.
Akhirnya yang mendominasi ruang publik justru mereka yang lebih pandai membungkus kata-kata daripada menulis berbagai research keamanan.
Sikap skeptis para profesional terhadap “kelas instan” sebenarnya wajar.
Karena mereka tahu betul “sebuah pemahaman setengah matang dalam security bisa berbahaya”
Salah framing pada materi, salah pemahaman pada legal scope, salah interpretasi pada disclosure semuanya bisa berujung fatal.
Tapi, kalau kritik itu disampaikan dengan nada sinis tanpa edukasi balik, maka jurang antara “yang tahu” dan “yang ingin tahu” akan makin lebar.
Benturan Dua Dunia
Di sinilah paradoks besar itu terjadi:
| Dunia Profesional | Dunia Edukatif Populis |
|---|---|
| Menjaga integritas dan standar teknis | Menyebarkan semangat belajar |
| Fokus pada metodologi dan akurasi | Fokus pada narasi dan engagement |
| Menilai dari proses disclosure | Menilai dari exposure dan reach |
| Memfilter informasi sebelum dibuka | Membuka semua hal dengan bebas |
Dua dunia ini sebenarnya bisa saling melengkapi
yang satu menjaga kualitas, yang satu memperluas akses.
Tapi sering kali keduanya memilih berseberangan, bukan bersinergi.
Akar Masalah: Validasi dan Persepsi
Fenomena ini juga tumbuh karena tidak adanya sistem validasi kredibilitas di Indonesia.
Kita tidak punya asosiasi atau lembaga yang menilai kompetensi seorang praktisi keamanan secara objektif.
Akhirnya, kredibilitas hanya diukur dari:
- seberapa sering muncul di media,
- seberapa banyak siswa kursus,
- seberapa sering disebut “hacker NASA”.
Sementara profesional yang fokus di riset, publikasi, atau CVE sering tidak punya panggung.
Padahal mereka inilah yang justru membentuk pondasi keamanan digital jangka panjang.
Antara Niat dan Narasi
Sebagian orang yang membuka kelas tidak bermaksud buruk.
Mereka ingin berbagi perjalanan mereka, memberi inspirasi bahwa siapa pun bisa belajar.
Dan itu bagus selama dilakukan dengan transparansi konteks dan kesadaran batas kemampuan.
Masalah muncul ketika narasi dibelokkan jadi personal branding berlebihan.
Ketika edukasi berubah jadi marketing.
Dan ketika “membagi ilmu” berubah jadi “membentuk fanbase”.
Di titik itulah dunia cyber security kehilangan makna awalnya:
membangun keamanan bersama, bukan menjual rasa hebat.
Solusi: Saling Koreksi, Bukan Saling Serang
Kalau mau jujur, kedua pihak ini saling membutuhkan.
Yang senior butuh yang muda untuk meneruskan estafet,
yang muda butuh yang senior untuk menjaga arah.
Tapi caranya bukan lewat saling menjatuhkan,
melainkan lewat mentorship terbuka dengan transparansi yang sehat.
Profesional perlu aktif membentuk ruang pembelajaran publik bukan hanya ruang eksklusif internal.
Dan bagi pengajar baru, kesadaran etika harus jadi pondasi:
“Jangan ajarkan sesuatu yang kamu belum pahami, dan jangan jual sesuatu yang seharusnya dibuka gratis.”
Penutup: Ilmu Bisa Diajarkan, Integritas Harus Ditularkan
Kita boleh bangga dengan semangat belajar generasi baru.
Tapi jangan lupa, keamanan bukan soal siapa yang paling cepat viral
melainkan siapa yang paling konsisten menjaga integritas ketika tak ada kamera yang merekam.
Dunia cyber security akan terus berkembang,
tapi kalau ekosistemnya berubah jadi pasar ego,
maka yang kita bangun bukan keamanan
melainkan ilusi tentangnya.
Van Lyubov – Tegalsec
“Curiosity builds skills, but integrity defines credibility.”






